Selasa, 03 November 2015

undang-undang cagar budaya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1992
TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA
DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional;

  1. bahwa untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan benda cagar budaya;
  2.  bahwa pengaturan benda cagar budaya sebagaimana diatur dalam Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238), sebagaimana telah diubah dengan Monumenten Ordonnatie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 515) dewasa ini sudah tidak sesuai dengan upaya perlindungan dan pemeliharaan demi pelestarian benda cagar budaya; dan oleh karena itu dipandang perlu menetapkan pengaturan benda cagar budaya dengan undang-undang.
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945; Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara 3215); Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427).
Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Benda cagar budaya adalah : benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Situs adalah :lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.
BAB II
TUJUAN DAN LINGKUP
Pasal 2
Perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Pasal 3
Lingkup pengaturan Undang-undang ini meliputi benda cagar budaya, benda yang diduga benda cagar budaya, benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya, dan situs.
BAB III
PENGUASAAN, PEMILIKAN, PENEMUAN, DAN PENCARIAN
Bagian Pertama Penguasaan dan Pemilikan
Pasal 4
(1) Semua benda cagar budaya dikuasai oleh Negara.
(2) Penguasaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi benda cagar budaya yang terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia.
(3) Pengembalian benda cagar budaya yang pada saat berlakunya Undang-undang ini berada di luar wilayah hukum Republik Indonesia, dalam rangka penguasaan oleh Negara, dilaksanakan Pemerintah sesuai dengan konvensi internasional.
Pasal 5
1. Dalam rangka penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, benda cagar budaya yang karena nilai, sifat, jumlah, dan jenisnya serta demi kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perlu dilestarikan, dinyatakan milik Negara.
2. Ketentuan mengenai penentuan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
(1) Benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(2) Benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah benda cagar budaya yang:
a. dimiliki atau dikuasai secara turun-temurun atau merupakan warisan;
b. jumlah untuk setiap jenisnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh Negara.
c. Dalam hal orang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah warga negara Indonesia, yang dapat dimiliki atau dikuasai adalah benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan huruf b.
d. Dalam hal orang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah warga negara asing, yang dapat dimiliki atau dikuasai adalah hanya benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b.
Pasal 7
(1) Pengalihan pemilikan atas benda cagar budaya tertentu yang dimiliki oleh warga negara Indonesia secara turun-temurun atau karena pewarisan hanya dapat dilakukan kepada Negara.
(2) Pengalihan pemilikan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai pemberian imbalan yang wajar.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengalihan dan pemberian imbalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
(1) Setiap pemilikan, pengalihan hak, dan pemindahan tempat benda cagar budaya tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 wajib didaftarkan.
(2) Ketentuan mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, yang benda cagar budayanya hilang dan/atau rusak wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada Pemerintah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diketahui hilang atau rusaknya benda cagar budaya tersebut.
Bagian Kedua Penemuan
Pasal 10
(1) Setiap orang yang menemukan atau mengetahui ditemukannya benda cagar budaya atau benda yang diduga sebagai benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya, wajib melaporkannya kepada Pemerintah selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak ditemukannya.
(2) Berdasarkan laporan tersebut, terhadap benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera dilakukan penelitian.
(3) Sejak diterimanya laporan dan selama dilakukannya proses penelitian terhadap benda yang ditemukan diberikan perlindungan sebagai benda cagar budaya.
(4) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pemerintah menentukan benda tersebut sebagai benda cagar budaya atau bukan benda cagar budaya dan menetapkan: pemilikan oleh Negara dengan, pemberian imbalan yang wajar kepada penemu;pemilikan sebagian dari benda cagar budaya oleh penemu berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b; penyerahan kembali kepada penemu, apabila terbukti benda tersebut bukan sebagai benda cagar budaya atau bukan sebagai benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya;pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila benda tersebut ternyata merupakan benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
Pemerintah menetapkan lokasi penemuan benda cagar budaya atau benda yang diduga benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) sebagai situs dengan menetapkan batas-batasnya.
Bagian Ketiga Pencarian
Pasal 12
(1) Setiap orang dilarang mencari benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya, tanpa izin dari Pemerintah.
(2) Ketentuan mengenai pencarian benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya termasuk syarat-syarat dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV 
PERLINDUNGAN DAN PEMELIHARAAN
Pasal 13
(1) Setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya.
(2) Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya.
Pasal 14
(1) Dalam hal orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak melaksanakan kewajiban melindungi dan memelihara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah memberikan teguran.
(2) Apabila dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak dikeluarkan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) upaya perlindungan tetap tidak dilaksanakan oleh pemilik atau yang menguasai benda cagar budaya, Pemerintah dapat mengambil alih kewajiban untuk melindungi benda cagar budaya yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya
(2) Tanpa izin dari Pemerintah setiap orang dilarang: membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia; memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya;mengambil atau memindahkan benda cagar budaya baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat; mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya; memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya; memperdagangkan atau memperjualbelikan atau memperniagakan benda cagar budaya.
(3) Pelaksanaan ketentuan dan perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
Pemerintah dapat menahan atau memerintahkan agar benda cagar budaya yang telah dibawa atau dipindahkan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dikembalikan ke tempat asal atas beban biaya orang yang membawa atau memindahkannya.
Pasal 17
(1) Setiap kegiatan yang berkaitan dengan penetapan suatu lokasi sebagai situs disertai dengan pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah yang bersangkutan.
(2) Pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
PENGELOLAAN
Pasal 18
(1) Pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab Pemerintah
(2) Masyarakat, kelompok, atau perorangan berperanserta dalam pengelolaan benda cagar budaya dan situs
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengelolaan benda cagar budaya dan situs ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMANFAATAN
Pasal 19
(1) Benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan dengan cara atau apabila:
a. bertentangan dengan upaya perlindungan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2);
b. semata-mata untuk mencari keuntungan pribadi dan/atau golongan.
(3) Ketentuan tentang benda cagar budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan cara pemanfaatannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan benda cagar budaya apabila pelaksanaannya ternyata berlangsung dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Pasal 21
Benda cagar budaya yang pada saat ditemukan ternyata sudah tidak dimanfaatkan lagi seperti fungsi semula dilarang untuk dimanfaatkan kembali.
Pasal 22
(1) Benda cagar budaya bergerak atau benda cagar budaya tertentu baik yang dimiliki oleh Negara maupun perorangan dapat disimpan dan/atau dirawat di museum.
(2) Pemeliharaan benda cagar budaya yang disimpan dan/ atau dirawat di museum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Pemanfaatan benda cagar budaya dengan cara penggandaan wajib mendapatkan izin dari Pemerintah.
(2) Ketentuan mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 24
(1) Pemerintah melaksanakan pengawasan terhadap benda cagar budaya beserta situs yang ditetapkan.
(2) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara terpadu dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
Atas dasar sifat benda cagar budaya, diadakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang mempunyai wewenang dan bekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII 
KETENTUAN PIDANA
Pasal 26
Barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 27
Barangsiapa dengan sengaja melakukan pencarian benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 28
Barangsiapa dengan sengaja : tidak melakukan kewajiban mendaftarkan pemilikan, pengalihan hak, dan pemindahan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); tidak melakukan kewajiban melapor atas hilang dan/ atau rusaknya benda cagar budaya tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; tidak melakukan kewajiban melapor atas penemuan atau mengetahui ditemukannya benda cagar budaya atau benda yang diduga sebagai benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1); memanfaatkan kembali benda cagar budaya yang sudah tidak dimanfaatkan lagi seperti fungsi semula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;memanfaatkan benda cagar budaya dengan cara penggandaan tidak seizin Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 23; masing-masing dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 29
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 adalah tindak pidana kejahatan dan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 adalah tindak pindana pelanggaran.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini setiap orang yang belum mendaftarkan benda cagar budaya tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, yang dimiliki atau dikuasainya wajib mendaftarkan kepada Pemerintah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak saat mulai berlakunya Undang-undang ini.
(2) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang ada sebagai pelaksanaan Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238), sebagaimana telah diubah dengan Monumenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staasblad Tahun 1934 Nomor 515), dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau belum diganti dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksanaan dari Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238), sebagaimana telah diubah dengan Monumenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 515), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 32
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
MOERDIONO

Jumat, 30 Oktober 2015

satra dan martabat manusia

SASTRA DAN MARTABAT MANUSIA

Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Martabat adalah tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri. harkat adalah segala sesuatu atau usaha yang dapat menaikkan kedudukan. Sementara Derajat adalah keududukan itu sendiri, yang berupa kemuliaan, tarif, mutu dan nilai.
Kesadaran baru tentang diri dan tempat serta kedudukan manusia di alam ciptaan ini tidak hanya dijumpai dalam syair-syair para sufi seperti Hamzah Fansuri, dan murid-muridnya para Syamsyudin Pasai, Hasan  Fansuri, Abdul Jamal dan lain-lain. Kesadraan tersebut juga muncul dalam karya-karya bercorak sejarah dan ketatanegaraan, yang suka atau tidak suka, banyak pula dipengaruhi oleh konsep sufi tentang manusia dan kedudukannya di alam semesta.manusia kin dilihat dalam konteks yan lebh sanga sejagat dan kedudukannya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi mengharuskan dia benar-benar megenal dirinya dengan baik dan cara melakukan hubungan dengan Tuhan dan sesmamanusianya dengan baik. Sikap adil sebagai titik tolak menuju kebenaran dalam berhubungan dengan sesamanya, penekanan akan pentingnnya ikhtiar dan inteligensia (akal), mulai ditonjolkan.
Berdasarkan kesadaran baru ini pula penciptaan karya sastra harus dapat diper tanggung jawabkan oleh pengarang secara pribadi. Pertanggung jawaban itu meliputi tujuan penulisan dan pilihan terhadap fungsi karya sastra yang dituliskan. Braginsky (1993) dengan tepatnya mengelompokan karya-karya melyu warisan peradapan Islam menjadi tiga berdasarkan peringkat wilayah atau lapisan gerapannya: (1) karya yang menganggap lapis Kesempurnaan dan Estetika Batin, (2) karya yang menganggap lapis Faedah dan Hikmah, (3) karya yang menganggap lapis Hiburan dan Estetika Zahir. (1) karya-karya yang menganggap lapis kesempurnaan jiwa (kamal), mengambarkan upaya manusia mencapi pengetahuan tertinggi (ma’rijat), jalan kerohanian (suluk), bentuk pengalaman dan keadaan rohani (maqam dan ahwal) yang diperoleh seorang penempuh jalan rohani (salik) dan lain sebagainya. Karya-karya yang menganggap sfera kesempurnaan jiwa ini juga menggambarkan cita-cit manusia mencapai pribadi insan kemil meneladani Nabi Muhammad s.a.w. kerinduan serang asyik (pencinta) kepada sang kekasih (mahbub), yaitu yang satu.
Karya-karya Hamzah Fansuri dan murid-muridnyaseperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Syamsudin Pasai, dan juga beberapa karangan Abdul Rauf Singkel dan lan-lain termaksud dalam kategori ini. Kecuali tiga penulis ini, diantaranya syair perahu (dalam tiga versi yang  berbeda), ikatan-ikatan Bahr al-nisa (lautan perempuan), syair dagang (yang agaknya ditulis penyair asal Minangkabau), Hikayat Burung Pinggai, syair Alif dan lain-lain.
(2) karya-karya yang mengungkap lapis faedah, yaitu keindahan pemikiran tentang sesuatu atu abad yang dapat memberikan faedah bagi pembacanya, terutama berkenaan dengan kehidupan sosial dan kehidupan manjalakan perinth agama.termassuk dalam  kelompok ini ialah Hikayat Nabi dan Sahabat, Hikayat Pahlawan Islam, serta karya kesejarahan dan abad.di antara karya termasuk sastra abad yang terkenal ialah Taj al-salatin (mahkota raja-raja) karya Bukhari Jauhari dan Bustan al-salatin (taman raja-raja) karya Naruddin Raniri dan Nasih Luqman al-hakim (anonim). Karya ini menjadi cermin pengajaran dan dan tuntunan bagi raja-raja, pegawai pemerintahan dan pemimpin masyarakat dalam menjalankan pemerintah agar tercapai keadilan dan kesehjateraan sosial, dan dengan demikian agama berkembang.
Karya brcorak sejarah ada yang ditulis dalam bentuk syair dan ada yang dalam bentuk prosa.  Bustan al-salatin merupakan karya berjorak sejarah dan abad. Karya bercorak sejarah lain yang terkenal ialah Hikayat Aceh (anonim), Sulalat al-salatin atau Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang dan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Kemudian karya kesehjateraan lain yang terkenal mansyur ialah Hikayat Pasai, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Patani, sejarah raja-raja Riau, Salasilah Melayu dan Bugis Salasilah Kutai, Hikayat Bengkulu dan lain-lain. Menurut Ali Ahmad (1991) karya berjorak sejarah yang disebut salasilah memiliki unit cerita yang terdiri dari kisah-kisah dan lagenda, namun tidak seperti hikayat yang diikat oleh perkembangan tokohnya yang stereotype, karya kesejarahan diikat oleh perkembangankejadian dan hikmah yang didukung dalam kejadian tersebut.
(3) karya yang mengarap lapis hiburan dan estetika zahir (luaran),termasuk ke dalam jenis ini ialah pelipur lara. Tujuan karya seperti itu ialah menyerasikan kesan-kesan kejiwaan yang kacau disebabkan kobaran hawa nafsu, sebuah sarana peghayatan indrawi atau sensual manusia dalam menanggapi kehidupan. Kesan-kesan kehidupan yang kacau harus diserasikan degan nilai moral dan ajaran agama, dan upaya kearah itu dicapai melalui bantuan keindahan karya sastra yang memberikan semacam psikoterapi kepaada jiwa, yaitu menghibur dan melipur.
Alam minsalnya mempunyai tempat tersendiri dalam teori sastra dan estetika Islam, karena apa yang dialami seseorang dalam alam tersebut merupakan realitas yang menghubungkan pengalaman zahir dengan pengalaman transendental.
Semua itu menjelaskan bahwa penulisan karya sastra tida semta-mata dimaksudkan sebagai hiburan, tetapi juga sebagai peningkatan kesadaran bagi pembacanya bahwa martabat manusia sedemikian mulianya ti tengah ciptaan lain. Sebagaimana kitab karangan penulis Islam pada umumnya, kitab ini dimulai dengan doa dan pujian-pujian kepada Allah Yang Maha Kuasa, kemudian dilanjutkan dengan shalawat kepada Nabi Muhammad s.a.w, seluruh kelarga dan sahabatnya. Dalam mukadimah bukunya itu, Bukhari al-Jauhari menyatakan bahwa hanya Tuhan yang mempunya hukum di dunia ini dan Dialah yang paling keras hukumnya.
Di antara ahli hikmah yang disebut oleh Bukhri ialah Aristoteles, penasehat agung Iskandar Zurkarnain. Aristoteles dikenal sebagai filosof yang meletakan dasar-dasar pemikiran rasional dalam sejarah filsafah. kodrat akal, menutut Bukhari ialah keinginanya untuk mengetahui segala sesuatu dan menyampaikan apa yang diketahuinya. Supaya akal berjalan di atas jalan yang benar, maka ia harus dibimbing oleh wahyu ilahi yang disampaikan melalui kitab Suci AL-Qur’an. Dngan bimbingan wahyu ilahi pula, akal budi dapat dijadikan sarana bagi manuia untuk mengenal dirinya, asal-usul kejadiannya dan hakikat keberadaannya di dunia.
Kitab ini disusun dalam 24 fasal yang membicarakan berbagai persoalan kehidupan manusia, khususnya yang berhubungan degan moral atau etika. Tujuannya ialah memberikan pedoman bagi Raja dan pemimpin dalam menyelnggarakan pemerintahan. Fasal pertama, mengenai cara-cara manusia mengenal dirinya agar supaya mengetahui asal-usul kejadiannya dan untuk tujuan apa Tuhan menciptakan manusia. Fasal kedua, menyatakan peri mengenal Tuhan selaku pencipta, dari mana manusia berasal dan akan kemana manusia pergi. Fasal ketiga, membicarakan tentang arti kehidupan di dunia. Fasal keempat, menyatakan peri kesudahan segala kehidupan di dunia. Digambarkan betapa sukar dan pilunya manusiamelepaskan nafsunya yang penghabisan di hadapan sang maut. Manusia harus senantiasa ingat bahwa setiap orang itu akan merasakan mati, tidak terkecuali seorang raja.
Empat fasal pertama ini dapat dianggap sebagai bagian pertama, yang merupakan landasan ideal bagi pembicaraan dlam bab-bab selanjutnya. Bukhari membuka fasal 1 bukunya dengan mengutip subuah hadis qudis berbunyi, “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” yakni, “Barang siapayang mengenal Tuhannya akan mengenal dirinya”. Katanya selanjutnya, bermula dari arti hadis ini nyatalah bahwa yang tiada dapat tiada daripada mengenal dirinya manusia pada pertama, maka dapat ia mengenal Tuhannya pada kemudiannya, karena jika manusia itu tidak menganal dirinya dan tiada mengetahui akan perinya itu, maka tidaklah dapat ia mengenal maut pun daripada barang sesuatu yang ada ini. Manusia diciptakan dari setitik air mani, yang kemudian tumbuh menjadi badan jasmani lengkap dengan anggota tubuh dan sarana kejiwaan serta keruhaniannya. Apabila seseorang engenal hakikat hakikat kejadian dirinya dan tujuan Tujua tuhan menciptakan manusia, manusia akan arif dan mampu mengenal tujuan hidup yang sebenarya di dunia. Dengan demikian seseorang dapat melakukan pekerjaan yang bermakna sehingga keberadaannya juga bermakna. Bukhari mengatakan:
“hai yang berbudi liatlah dari pada dirimu dan jangan kamu lihat pada anggota (tubuh, tetapi) lihat pada segala peri dan perbuatan (yang menjadikan) kamu daripada sesuatu perbuatan itu nyatalah keadaan Allah Subhana wa’ta’ala itu dan pada egalaperbuatan yang indah-indah ini daripada kuasa Allah Ta’ala jua tiada lain dari Tuhan yang menjadikan.” (TS 15)
Selanjutnya diterangkan bahwa manusia adalah cermin bagi manusia lain. Begitu pula orang beriman adalahcermin bagi orang beriman lain. Di antara lain sesama mereka wajib saling menegur dan menasehati. Jika seseorang mau melihat ke dalam cermin itu secara mendalam dan mau merenung, akan tampak baginya pantulan keindahan Tuhan. Kitab suci al-Qur’an menyatakan bahwa manusia adalah khalifah Allah di atas bumi, yang diciptakan menurut gambarnya.itulah hakikat keberadaan didunia.
Fasal 2, dimulai dengan kutipan al-Qur’an, surah al-Jin ayat 56, dan mengtakan, ‘ada pun hak subhana wa Ta’ala menjadikan sekalian manusia dan segala jin (dengan maksud) dari mengenal Dzat-nya dan mengetahui sifat-sifatnya segala mereka itu dan nyata kekuasaan Tuhan akan segala hambanya (TS 28).walaupun menemptkan akal pada kedudukan yang tinggi, namun Bukhari melonak pandangan kaum Mu’tazila (rasionalis) yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluq (diciptakan) dan karna tidak kekal. Menurut Bukhari, “Bermula al-Qur’an itu adalah firman Allah Ta’ala juga qadim (kekal) bukan makhluq dan itu juga suratan dalam segala nasihat kita dan dihazaskan dalam segala hati kita dibaca dengan segala lidah dan didengar dengan semua pendengar  dan diturunkan (diwahyukan oleh Allah) kepada Nabi Muhammas s.a.w. “(TS 30). Bukhari juga menjelaskan bahwa Allah merupakan Tuhan yang Trasenden (tanzih), artinya tiada berupa dan tiada berhingga serta tiada berbilang dan  tiada betapa dan tidak bertempat dan berwaktu. Dia merupakan Dzat maha tinggi yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu-nya dan sifat-sifatnya.
Fasal 3 tidak kurang pentingnya, karena merupakan landasan utama pembahasan mengenai keadilan dan raja-raja yang adil di dunia. Menurut Bukhari, walaupun dunia ini pada hakikatnya merupakan perhentian sementara, namun artinya tidak kecil bagi manusia.bekal yang harus dibawa bukanlah harta benda, kedudkan dan kekuasaan, melainkan amal saleh. Seseorang dapat beramal saleh jika daat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang salah mana yang benar. Intuk itu seseorang pemimpin harus menguasai ilmu agama dan memahami kitab suci. Orang beriman juga harus senantiasa ingat mati. Hidup manusia adalah sebuah perjalanan dari yang abadi menuju yang abadi. Dalam perjalanannya itu dia harus melalui tempat-tempat perhentian tertentu dan singgah sesaat disitu. Tempat-tempat perhentia itu ialah: pertama, salbi, yaitu alam primordial atau alam minsal, ketika manuisa masih berupa benih dalam angan-angan ayahnya, sedang ruhnya masih berda di tangan sang pencipta dan belum dihembuskan kedalam badan jasmaninya, kedua, rahim ibu, selama lebih kurang sembilan bulan  ketiga, alam dunia, tmpat manusia berusaha dan berbakti pada kehidupan, keempat, alam kubur, tempat berbaring sebatang kara, kelima, hari kiamat, tempat amal baik dan buruknya ditimbang, keenam, surga atau neraka yang merupakan tempatnya yang kekal. Dunia merupakan salah satu perhentian penting, oleh karena wajib manusia itu mengenal dunia dan makna keberadaan dirinya sebaik-baiknya (TS 36-7)`
Fasal 4, dibicarakan persoalan maut. Dimulai dengan kutipan al-Qur’an, surah Ali Imran 184 (“segala yang bernyawa akan merasai mati) dan surah al-Rahman 26-7 (“segala sesuatu akan binasa kecuali wajah Tuhan yang Maha Besar dan Mulia”).ada dua hal yang dihadapi manusia di muka bumi ini. Pertama ialah mereka yang sibuk mencari harta dan mencintai dunia secara berlebihan, sehingga dia lupa bahwa kelak ia akan mati. Oarang semacam itu sebenarnya bebal, kurang budinya. Kedua ialah orang yang bahagia dalam hidupnya, karena tahu bahwa dunia ini pada dasarnya buas dan jahat, tidak kekal dak tidak ingat akan mati. Orang seperti ini tidak mencintai dunia secara berlebihan, seperti bersungguh-sungguh mancari perbekalan untuk dibawa pulang ke akhirat, yaitu dengan banyak beramal saleh (TS JJ 25). Telah dikatakan bahwa dalam hakikatnya manusia adalah khalifah Tuhan di muka bumi. Tugas kekhalifahnya itu lebih berat lagi diemban oleh seorang raja atau pemimpin. Seorang raja mengemban amanat yang berat, karena dia memiliki kekuasaan yang lebih dari orang lain untuk mengatur kehidupan, mengembangkan arah peradapan  manusia. Seorang raja adalah pelaku utama sejarah kemanusiaan, serta tauladan utama bagi rakyat dan bawahanya. Dalam fasal yang membicarakan persoalan ini Bukhari al-Jauhari merasa perlu menceritakan kepemimpinan nabi-nabi, khususnya Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf dan Nabi Muhammad s.a.w. mreka memiliki kekuasaan untuk memerintah kaumnya, tetapi tetap hidup sederhana dan tidak berbelenggu oleh materialisme dan kemegahan duniawi. Mereka menjalankan kekuasaan untuk tujuan spritual, bukan untuk sekedar tujuan material. Teladan lain ialah sahabat-sahabat Nabi Muhammad s.a.w seperti Umar bin Khattab. Dalam menjalankan hukum dia tidak memandang bulu dan selalu berusaha menjauhkan diri dari KKK. Umar menghukum anaknya sendiri karena kedapatan memperkosa sorang gadis
Bukhari al-Jauhari juga mengemukakan bahwa manusia yang sadar akan martabat dirinya dan kedudukannya selaku khalifah Tuhan di muka bumi akan selalu berbuat berdasar ilmu dan akal budinya. Kata Bukhari:



Dengar olehmu hi budiman
Budi itulah sesungguhnya pohon ihsan
Karena ihsan itu peri budinyalah
Jika lain, maka lain jadilah


Orang yang berbudi itu kayalah
Yang tidak berbudi itu apalah
Jika kau dapat arti alam ini
Dan budi kurang padamu di sini


Sia-silah jua adamu
Dan sekali pula sia-sia namamu
Jika kamu hendak manjadi kaya
Mintalah budi padamu cahaya
Hai Tuanku, Bukhari faqir yang hina
Pada budi minta selamat senantiasa


(TS 167-78)


Ciri-ciri Karya Melayu Klasik
a. Berkembang secara statis dan mempunyai rumus baku.
1)   Bentuk prosanya sering menggunakan kata-kata klise, seperti sahibul hikayat, menurut empunya cerita, konon, dan sejenisnya.
2)  Bentuk puisinya terikat oleh aturan-aturan seperti banyaknya larik pada setiap bait, banyak suku kata pada setiap larik, dan pola rima akhir. Aturan-aturan itu dapat anda lihat dalam pantun atau syair.
b. Biasanya tidak sesuai dengan logika umum.
c. Kisahannya berupa kehidupan istana, raja-raja, dewa-dewa, para pahlawan, atau tokoh-tokoh mulia lainnya.
d. Disampaikan secara lisan atau dari mulut ke mulut. Oleh karna itu, tidak mengherankan apabila karya sastra melayu klasik memiliki banyak versi, sesuai orang yang menceritakannya.

e. Nama penciptanya tidak diketahui (anonim). Hal tersebut disebabkan oleh sifat karya sastra klasik yang menganggap karya sastra merupakan milik bersama masyarakat.