Jumat, 30 Oktober 2015

satra dan martabat manusia

SASTRA DAN MARTABAT MANUSIA

Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Martabat adalah tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri. harkat adalah segala sesuatu atau usaha yang dapat menaikkan kedudukan. Sementara Derajat adalah keududukan itu sendiri, yang berupa kemuliaan, tarif, mutu dan nilai.
Kesadaran baru tentang diri dan tempat serta kedudukan manusia di alam ciptaan ini tidak hanya dijumpai dalam syair-syair para sufi seperti Hamzah Fansuri, dan murid-muridnya para Syamsyudin Pasai, Hasan  Fansuri, Abdul Jamal dan lain-lain. Kesadraan tersebut juga muncul dalam karya-karya bercorak sejarah dan ketatanegaraan, yang suka atau tidak suka, banyak pula dipengaruhi oleh konsep sufi tentang manusia dan kedudukannya di alam semesta.manusia kin dilihat dalam konteks yan lebh sanga sejagat dan kedudukannya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi mengharuskan dia benar-benar megenal dirinya dengan baik dan cara melakukan hubungan dengan Tuhan dan sesmamanusianya dengan baik. Sikap adil sebagai titik tolak menuju kebenaran dalam berhubungan dengan sesamanya, penekanan akan pentingnnya ikhtiar dan inteligensia (akal), mulai ditonjolkan.
Berdasarkan kesadaran baru ini pula penciptaan karya sastra harus dapat diper tanggung jawabkan oleh pengarang secara pribadi. Pertanggung jawaban itu meliputi tujuan penulisan dan pilihan terhadap fungsi karya sastra yang dituliskan. Braginsky (1993) dengan tepatnya mengelompokan karya-karya melyu warisan peradapan Islam menjadi tiga berdasarkan peringkat wilayah atau lapisan gerapannya: (1) karya yang menganggap lapis Kesempurnaan dan Estetika Batin, (2) karya yang menganggap lapis Faedah dan Hikmah, (3) karya yang menganggap lapis Hiburan dan Estetika Zahir. (1) karya-karya yang menganggap lapis kesempurnaan jiwa (kamal), mengambarkan upaya manusia mencapi pengetahuan tertinggi (ma’rijat), jalan kerohanian (suluk), bentuk pengalaman dan keadaan rohani (maqam dan ahwal) yang diperoleh seorang penempuh jalan rohani (salik) dan lain sebagainya. Karya-karya yang menganggap sfera kesempurnaan jiwa ini juga menggambarkan cita-cit manusia mencapai pribadi insan kemil meneladani Nabi Muhammad s.a.w. kerinduan serang asyik (pencinta) kepada sang kekasih (mahbub), yaitu yang satu.
Karya-karya Hamzah Fansuri dan murid-muridnyaseperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Syamsudin Pasai, dan juga beberapa karangan Abdul Rauf Singkel dan lan-lain termaksud dalam kategori ini. Kecuali tiga penulis ini, diantaranya syair perahu (dalam tiga versi yang  berbeda), ikatan-ikatan Bahr al-nisa (lautan perempuan), syair dagang (yang agaknya ditulis penyair asal Minangkabau), Hikayat Burung Pinggai, syair Alif dan lain-lain.
(2) karya-karya yang mengungkap lapis faedah, yaitu keindahan pemikiran tentang sesuatu atu abad yang dapat memberikan faedah bagi pembacanya, terutama berkenaan dengan kehidupan sosial dan kehidupan manjalakan perinth agama.termassuk dalam  kelompok ini ialah Hikayat Nabi dan Sahabat, Hikayat Pahlawan Islam, serta karya kesejarahan dan abad.di antara karya termasuk sastra abad yang terkenal ialah Taj al-salatin (mahkota raja-raja) karya Bukhari Jauhari dan Bustan al-salatin (taman raja-raja) karya Naruddin Raniri dan Nasih Luqman al-hakim (anonim). Karya ini menjadi cermin pengajaran dan dan tuntunan bagi raja-raja, pegawai pemerintahan dan pemimpin masyarakat dalam menjalankan pemerintah agar tercapai keadilan dan kesehjateraan sosial, dan dengan demikian agama berkembang.
Karya brcorak sejarah ada yang ditulis dalam bentuk syair dan ada yang dalam bentuk prosa.  Bustan al-salatin merupakan karya berjorak sejarah dan abad. Karya bercorak sejarah lain yang terkenal ialah Hikayat Aceh (anonim), Sulalat al-salatin atau Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang dan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Kemudian karya kesehjateraan lain yang terkenal mansyur ialah Hikayat Pasai, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Patani, sejarah raja-raja Riau, Salasilah Melayu dan Bugis Salasilah Kutai, Hikayat Bengkulu dan lain-lain. Menurut Ali Ahmad (1991) karya berjorak sejarah yang disebut salasilah memiliki unit cerita yang terdiri dari kisah-kisah dan lagenda, namun tidak seperti hikayat yang diikat oleh perkembangan tokohnya yang stereotype, karya kesejarahan diikat oleh perkembangankejadian dan hikmah yang didukung dalam kejadian tersebut.
(3) karya yang mengarap lapis hiburan dan estetika zahir (luaran),termasuk ke dalam jenis ini ialah pelipur lara. Tujuan karya seperti itu ialah menyerasikan kesan-kesan kejiwaan yang kacau disebabkan kobaran hawa nafsu, sebuah sarana peghayatan indrawi atau sensual manusia dalam menanggapi kehidupan. Kesan-kesan kehidupan yang kacau harus diserasikan degan nilai moral dan ajaran agama, dan upaya kearah itu dicapai melalui bantuan keindahan karya sastra yang memberikan semacam psikoterapi kepaada jiwa, yaitu menghibur dan melipur.
Alam minsalnya mempunyai tempat tersendiri dalam teori sastra dan estetika Islam, karena apa yang dialami seseorang dalam alam tersebut merupakan realitas yang menghubungkan pengalaman zahir dengan pengalaman transendental.
Semua itu menjelaskan bahwa penulisan karya sastra tida semta-mata dimaksudkan sebagai hiburan, tetapi juga sebagai peningkatan kesadaran bagi pembacanya bahwa martabat manusia sedemikian mulianya ti tengah ciptaan lain. Sebagaimana kitab karangan penulis Islam pada umumnya, kitab ini dimulai dengan doa dan pujian-pujian kepada Allah Yang Maha Kuasa, kemudian dilanjutkan dengan shalawat kepada Nabi Muhammad s.a.w, seluruh kelarga dan sahabatnya. Dalam mukadimah bukunya itu, Bukhari al-Jauhari menyatakan bahwa hanya Tuhan yang mempunya hukum di dunia ini dan Dialah yang paling keras hukumnya.
Di antara ahli hikmah yang disebut oleh Bukhri ialah Aristoteles, penasehat agung Iskandar Zurkarnain. Aristoteles dikenal sebagai filosof yang meletakan dasar-dasar pemikiran rasional dalam sejarah filsafah. kodrat akal, menutut Bukhari ialah keinginanya untuk mengetahui segala sesuatu dan menyampaikan apa yang diketahuinya. Supaya akal berjalan di atas jalan yang benar, maka ia harus dibimbing oleh wahyu ilahi yang disampaikan melalui kitab Suci AL-Qur’an. Dngan bimbingan wahyu ilahi pula, akal budi dapat dijadikan sarana bagi manuia untuk mengenal dirinya, asal-usul kejadiannya dan hakikat keberadaannya di dunia.
Kitab ini disusun dalam 24 fasal yang membicarakan berbagai persoalan kehidupan manusia, khususnya yang berhubungan degan moral atau etika. Tujuannya ialah memberikan pedoman bagi Raja dan pemimpin dalam menyelnggarakan pemerintahan. Fasal pertama, mengenai cara-cara manusia mengenal dirinya agar supaya mengetahui asal-usul kejadiannya dan untuk tujuan apa Tuhan menciptakan manusia. Fasal kedua, menyatakan peri mengenal Tuhan selaku pencipta, dari mana manusia berasal dan akan kemana manusia pergi. Fasal ketiga, membicarakan tentang arti kehidupan di dunia. Fasal keempat, menyatakan peri kesudahan segala kehidupan di dunia. Digambarkan betapa sukar dan pilunya manusiamelepaskan nafsunya yang penghabisan di hadapan sang maut. Manusia harus senantiasa ingat bahwa setiap orang itu akan merasakan mati, tidak terkecuali seorang raja.
Empat fasal pertama ini dapat dianggap sebagai bagian pertama, yang merupakan landasan ideal bagi pembicaraan dlam bab-bab selanjutnya. Bukhari membuka fasal 1 bukunya dengan mengutip subuah hadis qudis berbunyi, “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” yakni, “Barang siapayang mengenal Tuhannya akan mengenal dirinya”. Katanya selanjutnya, bermula dari arti hadis ini nyatalah bahwa yang tiada dapat tiada daripada mengenal dirinya manusia pada pertama, maka dapat ia mengenal Tuhannya pada kemudiannya, karena jika manusia itu tidak menganal dirinya dan tiada mengetahui akan perinya itu, maka tidaklah dapat ia mengenal maut pun daripada barang sesuatu yang ada ini. Manusia diciptakan dari setitik air mani, yang kemudian tumbuh menjadi badan jasmani lengkap dengan anggota tubuh dan sarana kejiwaan serta keruhaniannya. Apabila seseorang engenal hakikat hakikat kejadian dirinya dan tujuan Tujua tuhan menciptakan manusia, manusia akan arif dan mampu mengenal tujuan hidup yang sebenarya di dunia. Dengan demikian seseorang dapat melakukan pekerjaan yang bermakna sehingga keberadaannya juga bermakna. Bukhari mengatakan:
“hai yang berbudi liatlah dari pada dirimu dan jangan kamu lihat pada anggota (tubuh, tetapi) lihat pada segala peri dan perbuatan (yang menjadikan) kamu daripada sesuatu perbuatan itu nyatalah keadaan Allah Subhana wa’ta’ala itu dan pada egalaperbuatan yang indah-indah ini daripada kuasa Allah Ta’ala jua tiada lain dari Tuhan yang menjadikan.” (TS 15)
Selanjutnya diterangkan bahwa manusia adalah cermin bagi manusia lain. Begitu pula orang beriman adalahcermin bagi orang beriman lain. Di antara lain sesama mereka wajib saling menegur dan menasehati. Jika seseorang mau melihat ke dalam cermin itu secara mendalam dan mau merenung, akan tampak baginya pantulan keindahan Tuhan. Kitab suci al-Qur’an menyatakan bahwa manusia adalah khalifah Allah di atas bumi, yang diciptakan menurut gambarnya.itulah hakikat keberadaan didunia.
Fasal 2, dimulai dengan kutipan al-Qur’an, surah al-Jin ayat 56, dan mengtakan, ‘ada pun hak subhana wa Ta’ala menjadikan sekalian manusia dan segala jin (dengan maksud) dari mengenal Dzat-nya dan mengetahui sifat-sifatnya segala mereka itu dan nyata kekuasaan Tuhan akan segala hambanya (TS 28).walaupun menemptkan akal pada kedudukan yang tinggi, namun Bukhari melonak pandangan kaum Mu’tazila (rasionalis) yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluq (diciptakan) dan karna tidak kekal. Menurut Bukhari, “Bermula al-Qur’an itu adalah firman Allah Ta’ala juga qadim (kekal) bukan makhluq dan itu juga suratan dalam segala nasihat kita dan dihazaskan dalam segala hati kita dibaca dengan segala lidah dan didengar dengan semua pendengar  dan diturunkan (diwahyukan oleh Allah) kepada Nabi Muhammas s.a.w. “(TS 30). Bukhari juga menjelaskan bahwa Allah merupakan Tuhan yang Trasenden (tanzih), artinya tiada berupa dan tiada berhingga serta tiada berbilang dan  tiada betapa dan tidak bertempat dan berwaktu. Dia merupakan Dzat maha tinggi yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu-nya dan sifat-sifatnya.
Fasal 3 tidak kurang pentingnya, karena merupakan landasan utama pembahasan mengenai keadilan dan raja-raja yang adil di dunia. Menurut Bukhari, walaupun dunia ini pada hakikatnya merupakan perhentian sementara, namun artinya tidak kecil bagi manusia.bekal yang harus dibawa bukanlah harta benda, kedudkan dan kekuasaan, melainkan amal saleh. Seseorang dapat beramal saleh jika daat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang salah mana yang benar. Intuk itu seseorang pemimpin harus menguasai ilmu agama dan memahami kitab suci. Orang beriman juga harus senantiasa ingat mati. Hidup manusia adalah sebuah perjalanan dari yang abadi menuju yang abadi. Dalam perjalanannya itu dia harus melalui tempat-tempat perhentian tertentu dan singgah sesaat disitu. Tempat-tempat perhentia itu ialah: pertama, salbi, yaitu alam primordial atau alam minsal, ketika manuisa masih berupa benih dalam angan-angan ayahnya, sedang ruhnya masih berda di tangan sang pencipta dan belum dihembuskan kedalam badan jasmaninya, kedua, rahim ibu, selama lebih kurang sembilan bulan  ketiga, alam dunia, tmpat manusia berusaha dan berbakti pada kehidupan, keempat, alam kubur, tempat berbaring sebatang kara, kelima, hari kiamat, tempat amal baik dan buruknya ditimbang, keenam, surga atau neraka yang merupakan tempatnya yang kekal. Dunia merupakan salah satu perhentian penting, oleh karena wajib manusia itu mengenal dunia dan makna keberadaan dirinya sebaik-baiknya (TS 36-7)`
Fasal 4, dibicarakan persoalan maut. Dimulai dengan kutipan al-Qur’an, surah Ali Imran 184 (“segala yang bernyawa akan merasai mati) dan surah al-Rahman 26-7 (“segala sesuatu akan binasa kecuali wajah Tuhan yang Maha Besar dan Mulia”).ada dua hal yang dihadapi manusia di muka bumi ini. Pertama ialah mereka yang sibuk mencari harta dan mencintai dunia secara berlebihan, sehingga dia lupa bahwa kelak ia akan mati. Oarang semacam itu sebenarnya bebal, kurang budinya. Kedua ialah orang yang bahagia dalam hidupnya, karena tahu bahwa dunia ini pada dasarnya buas dan jahat, tidak kekal dak tidak ingat akan mati. Orang seperti ini tidak mencintai dunia secara berlebihan, seperti bersungguh-sungguh mancari perbekalan untuk dibawa pulang ke akhirat, yaitu dengan banyak beramal saleh (TS JJ 25). Telah dikatakan bahwa dalam hakikatnya manusia adalah khalifah Tuhan di muka bumi. Tugas kekhalifahnya itu lebih berat lagi diemban oleh seorang raja atau pemimpin. Seorang raja mengemban amanat yang berat, karena dia memiliki kekuasaan yang lebih dari orang lain untuk mengatur kehidupan, mengembangkan arah peradapan  manusia. Seorang raja adalah pelaku utama sejarah kemanusiaan, serta tauladan utama bagi rakyat dan bawahanya. Dalam fasal yang membicarakan persoalan ini Bukhari al-Jauhari merasa perlu menceritakan kepemimpinan nabi-nabi, khususnya Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf dan Nabi Muhammad s.a.w. mreka memiliki kekuasaan untuk memerintah kaumnya, tetapi tetap hidup sederhana dan tidak berbelenggu oleh materialisme dan kemegahan duniawi. Mereka menjalankan kekuasaan untuk tujuan spritual, bukan untuk sekedar tujuan material. Teladan lain ialah sahabat-sahabat Nabi Muhammad s.a.w seperti Umar bin Khattab. Dalam menjalankan hukum dia tidak memandang bulu dan selalu berusaha menjauhkan diri dari KKK. Umar menghukum anaknya sendiri karena kedapatan memperkosa sorang gadis
Bukhari al-Jauhari juga mengemukakan bahwa manusia yang sadar akan martabat dirinya dan kedudukannya selaku khalifah Tuhan di muka bumi akan selalu berbuat berdasar ilmu dan akal budinya. Kata Bukhari:



Dengar olehmu hi budiman
Budi itulah sesungguhnya pohon ihsan
Karena ihsan itu peri budinyalah
Jika lain, maka lain jadilah


Orang yang berbudi itu kayalah
Yang tidak berbudi itu apalah
Jika kau dapat arti alam ini
Dan budi kurang padamu di sini


Sia-silah jua adamu
Dan sekali pula sia-sia namamu
Jika kamu hendak manjadi kaya
Mintalah budi padamu cahaya
Hai Tuanku, Bukhari faqir yang hina
Pada budi minta selamat senantiasa


(TS 167-78)


Ciri-ciri Karya Melayu Klasik
a. Berkembang secara statis dan mempunyai rumus baku.
1)   Bentuk prosanya sering menggunakan kata-kata klise, seperti sahibul hikayat, menurut empunya cerita, konon, dan sejenisnya.
2)  Bentuk puisinya terikat oleh aturan-aturan seperti banyaknya larik pada setiap bait, banyak suku kata pada setiap larik, dan pola rima akhir. Aturan-aturan itu dapat anda lihat dalam pantun atau syair.
b. Biasanya tidak sesuai dengan logika umum.
c. Kisahannya berupa kehidupan istana, raja-raja, dewa-dewa, para pahlawan, atau tokoh-tokoh mulia lainnya.
d. Disampaikan secara lisan atau dari mulut ke mulut. Oleh karna itu, tidak mengherankan apabila karya sastra melayu klasik memiliki banyak versi, sesuai orang yang menceritakannya.

e. Nama penciptanya tidak diketahui (anonim). Hal tersebut disebabkan oleh sifat karya sastra klasik yang menganggap karya sastra merupakan milik bersama masyarakat.