SASTRA
DAN MARTABAT MANUSIA
Sastra
(Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa
Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau
"pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi"
atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk
merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki
arti atau keindahan tertentu. Martabat adalah tingkat harkat kemanusiaan atau
harga diri. harkat adalah segala sesuatu atau usaha yang dapat menaikkan
kedudukan. Sementara Derajat adalah keududukan itu sendiri, yang berupa
kemuliaan, tarif, mutu dan nilai.
Kesadaran
baru tentang diri dan tempat serta kedudukan manusia di alam ciptaan ini tidak
hanya dijumpai dalam syair-syair para sufi seperti Hamzah Fansuri, dan
murid-muridnya para Syamsyudin Pasai, Hasan
Fansuri, Abdul Jamal dan lain-lain. Kesadraan tersebut juga muncul dalam
karya-karya bercorak sejarah dan ketatanegaraan, yang suka atau tidak suka,
banyak pula dipengaruhi oleh konsep sufi tentang manusia dan kedudukannya di
alam semesta.manusia kin dilihat dalam konteks yan lebh sanga sejagat dan
kedudukannya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi mengharuskan dia benar-benar
megenal dirinya dengan baik dan cara melakukan hubungan dengan Tuhan dan sesmamanusianya
dengan baik. Sikap adil sebagai titik tolak menuju kebenaran dalam berhubungan
dengan sesamanya, penekanan akan pentingnnya ikhtiar dan inteligensia (akal),
mulai ditonjolkan.
Berdasarkan
kesadaran baru ini pula penciptaan karya sastra harus dapat diper tanggung jawabkan
oleh pengarang secara pribadi. Pertanggung jawaban itu meliputi tujuan
penulisan dan pilihan terhadap fungsi karya sastra yang dituliskan. Braginsky
(1993) dengan tepatnya mengelompokan karya-karya melyu warisan peradapan Islam
menjadi tiga berdasarkan peringkat wilayah atau lapisan gerapannya: (1) karya
yang menganggap lapis Kesempurnaan dan Estetika Batin, (2) karya yang
menganggap lapis Faedah dan Hikmah, (3) karya yang menganggap lapis Hiburan dan
Estetika Zahir. (1) karya-karya yang menganggap lapis kesempurnaan jiwa (kamal), mengambarkan upaya manusia
mencapi pengetahuan tertinggi (ma’rijat),
jalan kerohanian (suluk), bentuk
pengalaman dan keadaan rohani (maqam dan
ahwal) yang diperoleh seorang penempuh jalan rohani (salik) dan lain
sebagainya. Karya-karya yang menganggap sfera kesempurnaan jiwa ini juga
menggambarkan cita-cit manusia mencapai pribadi insan kemil meneladani Nabi Muhammad s.a.w. kerinduan serang asyik
(pencinta) kepada sang kekasih (mahbub),
yaitu yang satu.
Karya-karya Hamzah Fansuri dan murid-muridnyaseperti
Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Syamsudin Pasai, dan juga beberapa karangan Abdul
Rauf Singkel dan lan-lain termaksud dalam kategori ini. Kecuali tiga penulis
ini, diantaranya syair perahu (dalam
tiga versi yang berbeda), ikatan-ikatan Bahr al-nisa (lautan perempuan), syair dagang (yang agaknya ditulis
penyair asal Minangkabau), Hikayat Burung
Pinggai, syair Alif dan lain-lain.
(2) karya-karya
yang mengungkap lapis faedah, yaitu keindahan pemikiran tentang sesuatu atu
abad yang dapat memberikan faedah bagi pembacanya, terutama berkenaan dengan
kehidupan sosial dan kehidupan manjalakan perinth agama.termassuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Nabi dan Sahabat,
Hikayat Pahlawan Islam, serta karya kesejarahan dan abad.di antara karya
termasuk sastra abad yang terkenal ialah Taj
al-salatin (mahkota raja-raja) karya Bukhari
Jauhari dan Bustan al-salatin (taman raja-raja) karya Naruddin Raniri dan Nasih Luqman al-hakim
(anonim). Karya ini menjadi cermin pengajaran dan dan tuntunan bagi raja-raja,
pegawai pemerintahan dan pemimpin masyarakat dalam menjalankan pemerintah agar
tercapai keadilan dan kesehjateraan sosial, dan dengan demikian agama
berkembang.
Karya
brcorak sejarah ada yang ditulis dalam bentuk syair dan ada yang dalam bentuk
prosa. Bustan al-salatin merupakan karya
berjorak sejarah dan abad. Karya bercorak sejarah lain yang terkenal ialah Hikayat Aceh (anonim), Sulalat al-salatin atau Sejarah Melayu
karya Tun Sri Lanang dan Tuhfat al-Nafis
karya Raja Ali Haji. Kemudian karya kesehjateraan lain yang terkenal mansyur ialah
Hikayat Pasai, Hikayat Merong Mahawangsa,
Hikayat Patani, sejarah raja-raja Riau, Salasilah Melayu dan Bugis Salasilah
Kutai, Hikayat Bengkulu dan lain-lain. Menurut Ali Ahmad (1991) karya
berjorak sejarah yang disebut salasilah memiliki unit cerita yang terdiri dari
kisah-kisah dan lagenda, namun tidak seperti hikayat yang diikat oleh
perkembangan tokohnya yang stereotype, karya kesejarahan diikat oleh
perkembangankejadian dan hikmah yang didukung dalam kejadian tersebut.
(3)
karya yang mengarap lapis hiburan dan estetika zahir (luaran),termasuk ke dalam
jenis ini ialah pelipur lara. Tujuan karya seperti itu ialah menyerasikan
kesan-kesan kejiwaan yang kacau disebabkan kobaran hawa nafsu, sebuah sarana
peghayatan indrawi atau sensual manusia dalam menanggapi kehidupan. Kesan-kesan
kehidupan yang kacau harus diserasikan degan nilai moral dan ajaran agama, dan
upaya kearah itu dicapai melalui bantuan keindahan karya sastra yang memberikan
semacam psikoterapi kepaada jiwa, yaitu menghibur dan melipur.
Alam
minsalnya mempunyai tempat tersendiri dalam teori sastra dan estetika Islam,
karena apa yang dialami seseorang dalam alam tersebut merupakan realitas yang
menghubungkan pengalaman zahir dengan pengalaman transendental.
Semua
itu menjelaskan bahwa penulisan karya sastra tida semta-mata dimaksudkan
sebagai hiburan, tetapi juga sebagai peningkatan kesadaran bagi pembacanya
bahwa martabat manusia sedemikian mulianya ti tengah ciptaan lain. Sebagaimana
kitab karangan penulis Islam pada umumnya, kitab ini dimulai dengan doa dan
pujian-pujian kepada Allah Yang Maha Kuasa, kemudian dilanjutkan dengan
shalawat kepada Nabi Muhammad s.a.w, seluruh kelarga dan sahabatnya. Dalam
mukadimah bukunya itu, Bukhari al-Jauhari menyatakan bahwa hanya Tuhan yang
mempunya hukum di dunia ini dan Dialah yang paling keras hukumnya.
Di
antara ahli hikmah yang disebut oleh Bukhri ialah Aristoteles, penasehat agung
Iskandar Zurkarnain. Aristoteles dikenal sebagai filosof yang meletakan
dasar-dasar pemikiran rasional dalam sejarah filsafah. kodrat akal, menutut
Bukhari ialah keinginanya untuk mengetahui segala sesuatu dan menyampaikan apa
yang diketahuinya. Supaya akal berjalan di atas jalan yang benar, maka ia harus
dibimbing oleh wahyu ilahi yang disampaikan melalui kitab Suci AL-Qur’an. Dngan
bimbingan wahyu ilahi pula, akal budi dapat dijadikan sarana bagi manuia untuk
mengenal dirinya, asal-usul kejadiannya dan hakikat keberadaannya di dunia.
Kitab
ini disusun dalam 24 fasal yang membicarakan berbagai persoalan kehidupan
manusia, khususnya yang berhubungan degan moral atau etika. Tujuannya ialah
memberikan pedoman bagi Raja dan pemimpin dalam menyelnggarakan pemerintahan. Fasal pertama, mengenai cara-cara
manusia mengenal dirinya agar supaya mengetahui asal-usul kejadiannya dan untuk
tujuan apa Tuhan menciptakan manusia. Fasal
kedua, menyatakan peri mengenal Tuhan selaku pencipta, dari mana manusia
berasal dan akan kemana manusia pergi. Fasal
ketiga, membicarakan tentang arti kehidupan di dunia. Fasal keempat, menyatakan peri kesudahan segala kehidupan di dunia.
Digambarkan betapa sukar dan pilunya manusiamelepaskan nafsunya yang
penghabisan di hadapan sang maut. Manusia harus senantiasa ingat bahwa setiap
orang itu akan merasakan mati, tidak terkecuali seorang raja.
Empat
fasal pertama ini dapat dianggap sebagai bagian pertama, yang merupakan
landasan ideal bagi pembicaraan dlam bab-bab selanjutnya. Bukhari membuka fasal
1 bukunya dengan mengutip subuah hadis qudis berbunyi, “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” yakni, “Barang siapayang
mengenal Tuhannya akan mengenal dirinya”. Katanya selanjutnya, bermula dari
arti hadis ini nyatalah bahwa yang tiada dapat tiada daripada mengenal dirinya
manusia pada pertama, maka dapat ia mengenal Tuhannya pada kemudiannya, karena
jika manusia itu tidak menganal dirinya dan tiada mengetahui akan perinya itu,
maka tidaklah dapat ia mengenal maut pun daripada barang sesuatu yang ada ini.
Manusia diciptakan dari setitik air mani, yang kemudian tumbuh menjadi badan
jasmani lengkap dengan anggota tubuh dan sarana kejiwaan serta keruhaniannya.
Apabila seseorang engenal hakikat hakikat kejadian dirinya dan tujuan Tujua
tuhan menciptakan manusia, manusia akan arif dan mampu mengenal tujuan hidup
yang sebenarya di dunia. Dengan demikian seseorang dapat melakukan pekerjaan
yang bermakna sehingga keberadaannya juga bermakna. Bukhari mengatakan:
“hai
yang berbudi liatlah dari pada dirimu dan jangan kamu lihat pada anggota
(tubuh, tetapi) lihat pada segala peri dan perbuatan (yang menjadikan) kamu
daripada sesuatu perbuatan itu nyatalah keadaan Allah Subhana wa’ta’ala itu dan
pada egalaperbuatan yang indah-indah ini daripada kuasa Allah Ta’ala jua tiada
lain dari Tuhan yang menjadikan.” (TS 15)
Selanjutnya
diterangkan bahwa manusia adalah cermin bagi manusia lain. Begitu pula orang
beriman adalahcermin bagi orang beriman lain. Di antara lain sesama mereka
wajib saling menegur dan menasehati. Jika seseorang mau melihat ke dalam cermin
itu secara mendalam dan mau merenung, akan tampak baginya pantulan keindahan
Tuhan. Kitab suci al-Qur’an menyatakan bahwa manusia adalah khalifah Allah di
atas bumi, yang diciptakan menurut gambarnya.itulah hakikat keberadaan didunia.
Fasal
2, dimulai dengan kutipan al-Qur’an, surah al-Jin ayat 56, dan mengtakan, ‘ada
pun hak subhana wa Ta’ala menjadikan sekalian manusia dan segala jin (dengan
maksud) dari mengenal Dzat-nya dan mengetahui sifat-sifatnya segala mereka itu
dan nyata kekuasaan Tuhan akan segala hambanya (TS 28).walaupun menemptkan akal
pada kedudukan yang tinggi, namun Bukhari melonak pandangan kaum Mu’tazila
(rasionalis) yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluq (diciptakan) dan
karna tidak kekal. Menurut Bukhari, “Bermula al-Qur’an itu adalah firman Allah
Ta’ala juga qadim (kekal) bukan makhluq dan itu juga suratan dalam segala
nasihat kita dan dihazaskan dalam segala hati kita dibaca dengan segala lidah
dan didengar dengan semua pendengar dan
diturunkan (diwahyukan oleh Allah) kepada Nabi Muhammas s.a.w. “(TS 30). Bukhari
juga menjelaskan bahwa Allah merupakan Tuhan yang Trasenden (tanzih), artinya tiada berupa dan tiada
berhingga serta tiada berbilang dan
tiada betapa dan tidak bertempat dan berwaktu. Dia merupakan Dzat maha
tinggi yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu-nya dan sifat-sifatnya.
Fasal
3 tidak kurang pentingnya, karena merupakan landasan utama pembahasan mengenai
keadilan dan raja-raja yang adil di dunia. Menurut Bukhari, walaupun dunia ini
pada hakikatnya merupakan perhentian sementara, namun artinya tidak kecil bagi
manusia.bekal yang harus dibawa bukanlah harta benda, kedudkan dan kekuasaan,
melainkan amal saleh. Seseorang dapat beramal saleh jika daat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk, mana yang salah mana yang benar. Intuk itu
seseorang pemimpin harus menguasai ilmu agama dan memahami kitab suci. Orang
beriman juga harus senantiasa ingat mati. Hidup manusia adalah sebuah
perjalanan dari yang abadi menuju yang abadi. Dalam perjalanannya itu dia harus
melalui tempat-tempat perhentian tertentu dan singgah sesaat disitu.
Tempat-tempat perhentia itu ialah: pertama, salbi, yaitu alam primordial atau
alam minsal, ketika manuisa masih berupa benih dalam angan-angan ayahnya,
sedang ruhnya masih berda di tangan sang pencipta dan belum dihembuskan kedalam
badan jasmaninya, kedua, rahim ibu, selama lebih kurang sembilan bulan ketiga, alam dunia, tmpat manusia berusaha
dan berbakti pada kehidupan, keempat, alam kubur, tempat berbaring sebatang
kara, kelima, hari kiamat, tempat amal baik dan buruknya ditimbang, keenam,
surga atau neraka yang merupakan tempatnya yang kekal. Dunia merupakan salah
satu perhentian penting, oleh karena wajib manusia itu mengenal dunia dan makna
keberadaan dirinya sebaik-baiknya (TS 36-7)`
Fasal
4, dibicarakan persoalan maut. Dimulai dengan kutipan al-Qur’an, surah Ali
Imran 184 (“segala yang bernyawa akan merasai mati) dan surah al-Rahman 26-7
(“segala sesuatu akan binasa kecuali wajah Tuhan yang Maha Besar dan
Mulia”).ada dua hal yang dihadapi manusia di muka bumi ini. Pertama ialah
mereka yang sibuk mencari harta dan mencintai dunia secara berlebihan, sehingga
dia lupa bahwa kelak ia akan mati. Oarang semacam itu sebenarnya bebal, kurang
budinya. Kedua ialah orang yang bahagia dalam hidupnya, karena tahu bahwa dunia
ini pada dasarnya buas dan jahat, tidak kekal dak tidak ingat akan mati. Orang
seperti ini tidak mencintai dunia secara berlebihan, seperti bersungguh-sungguh
mancari perbekalan untuk dibawa pulang ke akhirat, yaitu dengan banyak beramal
saleh (TS JJ 25). Telah dikatakan bahwa dalam hakikatnya manusia adalah
khalifah Tuhan di muka bumi. Tugas kekhalifahnya itu lebih berat lagi diemban
oleh seorang raja atau pemimpin. Seorang raja mengemban amanat yang berat,
karena dia memiliki kekuasaan yang lebih dari orang lain untuk mengatur
kehidupan, mengembangkan arah peradapan
manusia. Seorang raja adalah pelaku utama sejarah kemanusiaan, serta
tauladan utama bagi rakyat dan bawahanya. Dalam fasal yang membicarakan
persoalan ini Bukhari al-Jauhari merasa perlu menceritakan kepemimpinan
nabi-nabi, khususnya Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf dan Nabi Muhammad
s.a.w. mreka memiliki kekuasaan untuk memerintah kaumnya, tetapi tetap hidup
sederhana dan tidak berbelenggu oleh materialisme dan kemegahan duniawi. Mereka
menjalankan kekuasaan untuk tujuan spritual, bukan untuk sekedar tujuan
material. Teladan lain ialah sahabat-sahabat Nabi Muhammad s.a.w seperti Umar
bin Khattab. Dalam menjalankan hukum dia tidak memandang bulu dan selalu
berusaha menjauhkan diri dari KKK. Umar menghukum anaknya sendiri karena
kedapatan memperkosa sorang gadis
Bukhari
al-Jauhari juga mengemukakan bahwa manusia yang sadar akan martabat dirinya dan
kedudukannya selaku khalifah Tuhan di muka bumi akan selalu berbuat berdasar
ilmu dan akal budinya. Kata Bukhari:
Dengar
olehmu hi budiman
Budi
itulah sesungguhnya pohon ihsan
Karena
ihsan itu peri budinyalah
Jika
lain, maka lain jadilah
Orang
yang berbudi itu kayalah
Yang
tidak berbudi itu apalah
Jika
kau dapat arti alam ini
Dan
budi kurang padamu di sini
Sia-silah
jua adamu
Dan
sekali pula sia-sia namamu
Jika
kamu hendak manjadi kaya
Mintalah
budi padamu cahaya
Hai
Tuanku, Bukhari faqir yang hina
Pada
budi minta selamat senantiasa
(TS
167-78)
Ciri-ciri
Karya Melayu Klasik
a. Berkembang secara statis dan mempunyai rumus baku.
1) Bentuk prosanya sering menggunakan kata-kata
klise, seperti sahibul hikayat, menurut empunya cerita, konon, dan sejenisnya.
2) Bentuk
puisinya terikat oleh aturan-aturan seperti banyaknya larik pada setiap bait,
banyak suku kata pada setiap larik, dan pola rima akhir. Aturan-aturan itu
dapat anda lihat dalam pantun atau syair.
b. Biasanya tidak sesuai dengan logika umum.
c. Kisahannya berupa kehidupan istana, raja-raja,
dewa-dewa, para pahlawan, atau tokoh-tokoh mulia lainnya.
d. Disampaikan secara lisan atau dari mulut ke mulut.
Oleh karna itu, tidak mengherankan apabila karya sastra melayu klasik memiliki
banyak versi, sesuai orang yang menceritakannya.
e. Nama penciptanya tidak diketahui (anonim). Hal
tersebut disebabkan oleh sifat karya sastra klasik yang menganggap karya sastra
merupakan milik bersama masyarakat.